Sabtu, 06 September 2014

Pertemuan Anggota | Aktivitas Palapa Paramitha

Sabtu, 6 September 2014


          Hari sabtu waktu menunjukan pukul 1 siang, Para anggota palapa yang lama telah bersiap di Gedung Paramitha Tourism School 1 Jakarta untuk mempersiapkan seluruh rangkaian acara. Tepat jam 2 akhirnya masuk ke dalam ruangan salah satu kelas yang akan digunakan untuk pertemuan & Perkenalan Palapa kepada anggota baru yang akan bergabung, Pada hari sabtu ini anggota lama yang hadir adalah Laras, Thasia, Aldo, Anggel, Arya, Antony, Dwi, Nabil, Reckllin, Sandra, Dustin kita semua bersiap untuk melaksanakan pertemuan pertama yang telah di rencanakan seminggu sebelomnya. Disaat jam menunjukan anggka 3 satu persatu anggota baru mulai tiba di ruangan setelah beberapa jam mempersiapkan yang dibutuhkan akhirnyapun selesai & Anggota yang barupun telah siap di ruangan pembukaan informasi dibuka oleh wakil Palapa yatu Thasia dia membuka informasi dengan menjelaskan apa itu palapa lalu ditampilkan slide menggunakan infocus mengenai profil anggota palapa yang lama mulai dari pembina sampai denggan anggota saat penjelasan menggenai profil anggota yang menjelaskan adalah ibu ketua Laras & ibu wakil Thasia, setelah menjelaskan profil anggota sesi selanjutnyapun dibuka.

          Sesi selanjutnya dibuka oleh Aldo Selaku Seksi Umum, Di sesi kedua ini aldo membuka pembahasan mengenai apa saja aktivitas Palapa selama ini. Aldopun menjelaskan mengenai apa itu Palapa & bagaimana aktivitas palapa di dalam sekolah & di luar sekolah. bagaimana sistem perjalanan dan bagaimana sistem latihan, setelah menjelaskan mengenai palapa keseluruhan aldopun meminta anggota yang baru untuk maju satu per satu memperkenalkan diri, Kelas & mengapa memilih mengikuti ekstrakulikuler Palapa, Satu persatupun maju kedepan menjelaskan mengenai hal yang minta untuk dijelaskan setelah satu per satu maju & sudah selesai semuanya sesi keduapun ditutu & diganti sesi selanjutnya yaitu mengenai perjalanan palapa selama ini

          Sesi ketiga ini dibuka oleh Laras & dilanjutkan sedikit oleh Aldo di sesi ini kita memberikan foto-foto aktivitas & perjalanan kita selama ini, mulai dari Pulau Tidung, Desa Baduy Dalam, Api Kebersamaan, Gunung Gede & Curug Cilember kita juga menapilkan video perjalanan ke curug cilember. Setelah sesi ketiga ditutupun sesi terakhirpun dilaksanakan, yaitu makan bersama. makan bersamaa ini diadakan di depan sekertariat Palapa di Gedung B & untuk makan kali ini kita melaksanakanya seperti biasa nasi panjang dikasih lauk dan makan bersama-sama di lantai, semua anggota baru & anggota lamapun bergabung bersama untuk makan bersama dan yang terakhir setelah makan bersama & membersihkan tempat makan kitapun berfoto bersama tanda mengakhiri aktivitas pertemuan pertama kita pada hari ini, sekian cerita kita di pertemuan palapa pertama dengan anggota baru ditunggu ya aktivitas kita selanjutnya Salam Lestari !!

Kamis, 13 Februari 2014

Trailer Pecinta Alam Paramitha Goes To Curug Cilember

Soe Hok Gie dan Gunung Semeru 2 | Cerita Palapa


  Soe yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan “Cina Kecil”, memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata “sakti” filsuf asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia menulis: “Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Soe yang penyayang binatang (dia memelihara beberapa ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo), sebelum musibah Semeru itu sempat berujar: “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe di Gubuk Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya. Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang … makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan … Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.” (CSD) Arief sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang.” Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: “Ah, Mama tidak mengerti”.
Arief pun menulis kenangannya lagi: … di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu naik turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, sering kali masih terdengar suara mesin tik … dari kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangan … saya terbangun dari lamunan … saya berdiri di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, “Gie kamu tidak sendirian”. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yag saya katakan itu.
Mimpi seorang Mahasiswa Tua
John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie – A Biography of A Young Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Hok Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari.

Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus:
…Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih … kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan.

Di luar negeri, berita kematian Soe sempat diucapkan Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York, sebagai berikut:
… Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca kemerdekaan …. Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan … bagi saya ia memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu.

Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga kawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe menulis,
… Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!

Dari cuplikan berbagai tulisan Soe, terasa sekali sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini:
Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama – buruh – dan pemuda, bangkit dan berkata – stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.

Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-Mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan:
… Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan … Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.

Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata tidak tahu berbahasa Inggris.
Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe menulis:

          …Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.

Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki “politisi berkartu mahasiswa”. Langkah Soe ini membuat mereka terperangah. Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru.
Berpolitik Cuma Sementara
John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November 1999), menulis begini,
“Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas.”

Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun … namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental “asal bapak senang”, serta “yes men”, atau sudah pasrah.
Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Soe akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa.”
Demikian tulis Maxwell.


          Soe memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.
Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folk song (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung makannya gembul.
Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa demonstran, masih ada potongan puisi Hok Gie yang sempat tercecer, baru muncul di harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya “Pesan” dan cukilan pentingnya berbunyi:
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi.

Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?

Soe Hok Gie dan Gunung Semeru 1 | Cerita Palapa


SOE HOK GIE: Kenangan Kepada Seorang Demonstran

          Enam belas Desember 30 tahun lalu, Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa dan pemuda, meninggal dunia di puncak Gunung Semeru, bersama Idhan Dhanvantari Lubis. Sosok dan sikapnya sebagai pemikir, penulis, juga aktivis yang berani, coba ditampilkan Rudy Badil, yang mewakili rekan lainnya, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman (Maman), Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.
“Siap-siap kalau mau ikut naik lagi ke Gunung Semeru. Kasih kabar secepatnya, sebab harus ada persiapan di musim penghujan Desember, juga pertengahan Desember itu bulan puasa Ramadhan,” kata Herman O. Lantang, mantan pimpinan pendakian Musibah Semeru 1969, yang masih amat bugar di umurnya yang sudah lewat 57 tahun.
Terkejut dan tersentuh juga saya saat mendengar ajakan Herman itu. Dia merencanakan membentuk tim kecil untuk mendaki puncak Semeru lagi Desember ini, sambil memperingati 30 tahun meninggalnya dua sobat lama kami, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. “Kita juga akan berdoa, sekalian mengenang Freddy Lasut yang meninggal beberapa bulan lalu,” lanjutnya.
Soe meninggal dunia saat baru berumur 27 tahun kurang sehari. Idhan malah baru 20 tahun. “Tanpa terasa Soe sudah tiga dasawarsa meninggalkan kita sejak Orde Baru … perkembangan yang terjadi di Tanah Air dalam dua tahun terakhir ini, khususnya gerakan mahasiswa yang telah menggulingkan pemerintahan Orde Baru, mengingatkan kita kembali pada situasi tahun 1960-an, ketika Soe masih menjadi aktivis mahasiswa kala itu,” begitu bunyi naskah buku kecil acara “Mengenang Seorang Demonstran”, (berisikan antara lain diskusi panel soal bangsa dan negara Indonesia ini), yang bakal diselenggarakan Iluni FSUI dan Alumni Mapala UI.
Kasih Batu dan Cemara
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Soe yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), di benak saya mulai tergali suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di Gunung Semeru.

          Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya Gunung Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, bersama Maman saya terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan. Kami menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.
Di depan kelihatan Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Sempat pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua teman itu akan menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru.
Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan‘ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, kami menunggu datangnya Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Soe dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Kami berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing.Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta kami menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, kami berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.
Mengapa Naik Gunung

          Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.

Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan berulang tahun di atas,” katanya sambil mesam-mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”
Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. “Keren enggak?” Tanyanya.
Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki Gunung Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.
Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (saya), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci. Sayang, cuma segitu ingatan saya tentang Soe pada jam-jam terakhirnya.
Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan “falsafahnya”, kala mengajak seseorang mendaki gunung. “Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di P. Jawa ini,” kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.
Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek sejati.
Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Kami yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.
Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan … Tides dan Wiwik 18-12-69.
Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan “site” tempat jenazah Soe dan Idhan … kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat … sebanyak mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing. Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.
Monyet Tua Yang Dikurung
Kalau diingat-ingat, selama beberapa minggu sebelum keberangkatan dengan kereta api ke Jatim, Soe memang suka berkata aneh-aneh. Beberapa kali dia mengisahkan kegundahannya tentang seorang kawan yang mati muda gara-gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku hariannya di CSD, Hok Gie menulis: “… Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru ….”

Jumat, 17 Januari 2014

Aktivitas Di Lokasi | Perjalanan Palapa Ke Cilember 3

Cilember, 4 Januari 2014

          Malam kita tiba di lokasi setelah beristirahat sejenak & ada yang berganti pakaian karena basah semua anggota membagi tugas ada yang mengambil kayu bakar di bawah, ada yang menyiapkan bumbu, ada yang menyiapkan ayam yang akan kita bakar dan ada yang menyiapkan tempat buat kita makan nanti. inilah kekluargaan yang selalu ada di dalam keluarga besar palapa paramitha, saat yang mengambil kayu dibawah itu tugasnya aldo & arya mereka ber-2 mengambil kayu bakar di bawah, saat mereka membawa sekarung kayu bakar ke atas arya terkena lintah tapi bisa diatasi ber-2 setelah kayu bakar siap dan tempat bakar ayam pun sudah disiapkan lalu pa herlin sebagai pembina kita yang orangnya ganteng membuat api unggun, semua saling cerita satu sama lain melepas lelah dengan ditemani api unggun yang sudah menyala di depan tenda, di sisi kiri tenda laras, meyer, aldo & dustin sibuk membakar ayam mereka semua membakar ayam yang cukup banyak memang tugasnya aldo tidak jauh daari bakar-bakar memang bakal jadi pengusaha restoran ni orang aminnnn hahaha, bumbu yang dibuat oleh para wanita cantik itu rassanya enak kalo gapercaya coba aja sendiri memang akan jadi calon istri yang pinter massak ni para perempuan anggota palapa hahaha aminnnn, ayam siap dan semuanya berkumpul di depan tenda di tempat yang di persiapkan untuk makan bersama, kekeluargaan palapa malam ini makan bersama di alam bebas setelah makan malam dengan ayam bakar yang cukup banyak karena meyer bawa ayam banyak jadi ngantuk deh yang dateng hahaha tapi di satu sisi meyer masih laper, tapi karena ave bawa Po* M*e jadi dibuatin deh meyer sama ave lumayanlah buat ganjel perut dan meyerpun ga ketinggalan modusnya hahaha setelah sedikit bercanda sekitar jam 11 kitapun tidur ada yang di dalam tenda ada juga yang di luar tenda, tidur di bawah bintang-bintang

Jakarta, 5 Januari 2014

          Matahari pun mulai terlihat dari sela-sela pepohonan, pagi pun tiba waktunya kita bangun dan mempersiapkan untuk lanjut perjalanan setelah peralatan semua dibawa dan perjalanan dibuka oleh doa dan saatnya kita jalan wohooo, tujuan awal kita adalah curug 5 pembukaan kita langsung di sambut dengan treck yang sedikit curam dan licin dengan semangat kita tetap naik satu per satu bekas jejak di tanah kita jadikan pijakan untuk ke atas, walaupun curug 5 ini tidak jauh dari lokassi camp kita tapi tetap saja karena memang bawaan kita yang kita gendong jadi sedikit kita lelah setalah beberapa waktu kita tiba di curug 5 disitu kita sedikit bermain air dan beberapa ada yang berfoto ria, karena kita belom sarapan kita putuskan untuk makan di warung yang ada di curug 5 karena di atas tidak ada warung lagi, walaupun hanya sekedar mie rebus tapi lumayan untuk isi tenaga di warung itu kita sedikit meninggalkan tanda dengan menempel sticker PALAPA PARAMITHA di kaca di sekitar sticker organisasi lainya, kitapun melanjutkan perjalanan awalnya kita rencana menuju curug 4 dahulu tetapi sang pembina banting stir memimpin kita langsung ke curug 2 tanpa sepengetahuan kita, tetapi kita tetep semangat aja  walaupun treck cukup curam dan berlumpur menuju curug 2 semangat para anggota tidak kendor kita terus semangat menuju curug 2 walaupun kita tunya akan ke curg 4

          Perjalanan cukup panjang, curam, berlumpur dan licin kita sempet berhenti beberapa untuk mengisi tenaga, setelah istirahat kita lanjutkan kembali perjalanan. sendal gunung yang sudah berlumpur terus melangkah entah sampai curug berapa karena kita belom tau akan ke curug mana karne kayanya jauh sekali ke curug 4, di perjalanan kita bertemu beberapa pecinta alam dan saling memberikan informasi tentang medan yang akan di lalui dan disitu kita baru tau kalau treck yang kita lewati itu langsung ke curug 2 bukan curug 4 kita tidak kaget tapi malah semakin semangat walaupun beberapa anggota sedikit demi sedikit langkahnya karena medan sangat curam dan licin tapi semangat yang membawa kita sampai di curug 2, setelah cukup lama melangkah terdengar suara gemercik air yang sanagt keras dan ternyata itu adalah "Curug 2" memang curug 2 ini lokasinya ada di atas dan sangat tertutup, jalur menuju ke lokasi ini memang bisa dibilang sangat curuam karena kemiringan dan licin tetapi ternyata bisa berdiri bersama keluarga palapa di bawa grojokan curug 2 yang sangat tinggi dan deras, kamera pun disitu tidak bisa diam seluruh kamera langsung mengabadikan moment kita semua.

          Seluruh anggota ikut saling bermain air tetapi di sela-sela itu ada salah satu anggota kita meyer yang sedikit turun ke bawah disela-sela bebatuan sedang apakah dia ? hayooooo tebakkkk hahaha, tinggalkan tentang meyer kembali ke yang lain disitu pak herlin juga sedikit naik ke tebing curug, anggel salah satu anggota kita yang cantik, imut dan manis ini dari awal perjalanan dari camp menuju curug 2 memang sangat semangat sekali dan setibanya dia curug 2 dia berenang wohooo ellin pun semua anggota ber foto ria saling siram-siraman, tidak lupa di lokasi kita pun berfoto ber sama menggunaan spanduk kita walaupun hanya 2 hari tapi rasa senang kita bisa kembali ke alam bersama keluarga palapa itu benar-benar timbul semuanya setelah berfoto ria semua kitapun kembali ke camp untuk memperisapkan barang dan kembali ke kota jakarta kembali ke aktifitas biasa di ibukota dan itulah akhir cerita dari perjalanan kita kali ini, ini adalah perjalanan ke 3 kita tetapi kita akan terus membuat sebuah cerita-cerita baru lagi bersama alam bebas dan kami akan ceritakan kepada kalian betapa indahnya alam bebas negri ini #SalamLestari

Perjalanan Menuju Lokasi | Perjalanan Palapa Ke Cilember 2

Jakarta, 4 Januari 2014         

          Setibanya di ciawi kita pindah kembali ke angkot yang menuju angkot arah puncak, tetapi sayangnya saat kita naik angkot itu jalur arah ke atas di tutup dan haripun sudah malam jadi mau tidak mau angkot yang kita naiki menggunakan jalur tikus tetapi walaupun jalur lancar tetap aja jalanan naik & turun dan hasilnya angkot yang kita naikin memang penuh full dengan seluruh anggota kita yang ikut pergi. tetapi di sela-sela kelancaran jalan itu ada beberapa tanjakan yang anggota laki-laki harus turun, untuk apa ? ya untuk dorong angkotnya hehehe angkotnya ga kuat nanjak bro hehehe jadinya mau ga mau anggota kita yang cowo harus turun untuk mendorong angkot alhasil meyer, arya, dustin dan juga miminpun turun mendorong angkot itu selama perjalanan dari ciawi sampai dengan cilember para anggota ada yang memanfaatkan waktu untuk tidur karena angkot yang kita gunain itu tidak mengantar kita sampai dalam tetapi kita jalan dari jalur puncak sampai dalam yang jaraknya lumayan sangat jauh & kondisi pun hujan. setelah beberapa lama tibalah kita di ujung gang dimana jalan menuju ke curug cilember, kita sedikit mempersiapkan peralatan seperti jacket atau mantel yang akan kita gunakan karena posisi cuaca hujan jadi musholalah yang jadi tempat kita mempersiapkan

          setelah semua siap perjalananpun dilanjutkan, namun kali ini bukan menggunakan kendaraan tetapi jalan, kita jalan dari depan sampai dalam yang lumayan jauh tetapi itu tidak membuat para anggota yang pergi menjadi patah semanga walaupun hujan yang mengguyur cukup deras tetap saja mereka terus semangat berjalan, seperti biasa kalo ga ketawa bukan palapa namanya kalo tadi nabil yang bikin ketawa di angkot sekarang sepanjang perjalanan ellin & anggel yang bikin orang ketawa mereka ber 2 nyanyi mulai dari lagunya doraemon sampai lagunya shincan mereka ber-2 nyanyi dengan semangatnya. terus melangkah langkah demi langkah menuju pintu masuk curug cilember (Jadi dramatisir gitu) kita sempet berhenti di suatu tanjakan yang sebenarnya sudah deket dengan pintu masuk disitu kita sedikit mengisi tenaga untuk minum, setelah kita mengisi tenaga dengan minum kita melanjutkan perjalanan langkah demi langkah, sampai di pintu curug cilember kira-kira jam 9 setelah sampai di pintu masuk ibu ketua dan bendahara melapor ke pos untuk mengatur pengurusan kita masuk ke dalam, setelah kita sudah fix lokasi dan sudah pas untuk tendanya yasudah akirnya anggota masuk ke dalam dan langsung menuju ke tenda untuk memperisapkan acara selanjutnya, lalu selanjutnya kita semua lanjut ke cerita selanjutnya hehehe biar ga terlalu panjang bacanya oke #SalamLestari