Soe yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan “Cina Kecil”, memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata “sakti” filsuf asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia menulis: “Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Soe yang penyayang binatang (dia memelihara beberapa ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo), sebelum musibah Semeru itu sempat berujar: “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe di Gubuk Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya. Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang … makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan … Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.” (CSD) Arief sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang.” Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: “Ah, Mama tidak mengerti”.
Arief pun menulis kenangannya lagi: … di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu naik turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, sering kali masih terdengar suara mesin tik … dari kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangan … saya terbangun dari lamunan … saya berdiri di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, “Gie kamu tidak sendirian”. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yag saya katakan itu.
Mimpi seorang Mahasiswa Tua
John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie – A Biography of A Young Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Hok Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari.
Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus:
…Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih … kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan.
Di luar negeri, berita kematian Soe sempat diucapkan Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York, sebagai berikut:
… Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca kemerdekaan …. Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan … bagi saya ia memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu.
Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga kawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe menulis,
… Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!
Dari cuplikan berbagai tulisan Soe, terasa sekali sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini:
Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama – buruh – dan pemuda, bangkit dan berkata – stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-Mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan:
… Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan … Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.
Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata tidak tahu berbahasa Inggris.
Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe menulis:
…Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.
Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki “politisi berkartu mahasiswa”. Langkah Soe ini membuat mereka terperangah. Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru.
Berpolitik Cuma Sementara
John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November 1999), menulis begini,
“Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas.”
Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun … namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental “asal bapak senang”, serta “yes men”, atau sudah pasrah.
Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Soe akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa.”
Demikian tulis Maxwell.
Soe memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.
Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folk song (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung makannya gembul.
Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa demonstran, masih ada potongan puisi Hok Gie yang sempat tercecer, baru muncul di harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya “Pesan” dan cukilan pentingnya berbunyi:
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi.
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar